spot_img

Menghadapi Pilkada 2024, Gus Yahya dan Ayah Sop Sepakat Aceh Harus Dipimpin Sosok Berkapasitas

Banda Aceh – Gus Yahya, Ketua Umum PBNU dan Ayah Sop Ketua Umum PB-HUDA yang menjadi narasumber pada Seminar Seminar Kebanggsaan yang dilaksanakan atas kerja sama PB-HUDA dan PWNU Aceh di Gran Aceh Syariah Hotel, Banda Aceh, Sabtu (29/6/2024), sepakat bahwa pemimpin Aceh ke depan harus yang punya kapasitas.

Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (PB-HUDA), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab mengatakan, Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) merupakan sebuah konsep universal dan telah menjadi solusi bagi umat Islam di berbagai era yang berbeda-beda.

Ketum PB-HUDA yang akrab disapa Ayah Sop atau Tu Sop itu mengatakan, Aswaja dari dahulu telah berfungsi sebagai konsep yang memiliki nilai-nilai dasar untuk membangun peradaban dan pranata sosial.

Namun tantangan yang dihadapi sekarang, kata Tu Sop, adalah bagaimana menerapkan nilai dari konsep Aswaja bisa terintegrasi dengan era demokrasi sekarang. Terkhusus bagi Aceh yang hari ini telah menerapkan Syariat Islam selama 20 tahun lebih.

“Misalkan kalau kita lagi duduk-duduk berbicara, ada yang bertanya, mengapa pemimpin sekarang di Aceh itu tidak seperti pemimpin-pemimpin di masa lalu. Dahulu mereka ditaati, berwibawa dan punya karisma. Kenapa sekarang pemimpinnya seolah tidak berfungsi sebagai seorang pemimpin, malah terlihat seperti seorang pekerja. Kenapa kesan itu bisa terjadi hari ini?” ungkap Tu Sop, dalam seminar kebangsaan bertajuk ‘Mencari Pemimpin Ideal untuk Aceh.’

Tu Sop menambahkan, adanya kesan seorang pemimpin tampak seperti seorang pekerja mengindikasikan bahwa warisan kepemimpinan yang ditinggalkan oleh pemimpin terdahulu seperti kepemimpinan Nabi Muhammad sudah terdegradasi oleh zaman.

“Artinya warisan ini (pemimpin karismatik) sudah terdegradasi sekarang. Terus apakah kita mau menyalahkan sistem demokrasi yang kita anut ini? Kita tidak bisa melawan itu, karena sudah menjadi konsensus dunia. Sekarang yang bisa kita lakukan ialah bagaimana meleburkan konsep Aswaja untuk menjaga keseimbangan dari sistem yang berlaku ini,” ungkap Tu Sop.

Tu Sop menambahkan, jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, masyarakat dan calon pemimpin keduanya harus benar-benar ahli. Masyarakat harus ahli memilih pemimpin, sementara calon pemimpin harus betul-betul ahli dalam memimpin.

Artinya, kata Tu Sop, calon pemimpin itu harus memiliki standar, punya integritas, kapasitas, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menjawab permasalahan kekinian. Sementara  masyarakat sebagai pemilih juga harus tahu betul siapa calon pemimpin yang dipilihnya.

“Dilemanya sekarang, yang memilih tidak ahli untuk memilih, yang dipilih tidak ahli untuk dipilih. Akhirnya banyak persoalan tidak terurus dengan baik sehingga ini menjadi masalah berlarut di kemudian hari. Di sini kita bingung untuk bagaimana menerapkan nilai Aswaja, sehingga kita bisa menyerahkan urusan dunia kepada ahlinya,” jelas Tu Sop.

Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, kriteria pemimpin ideal menurutnya adalah sosok yang bisa merintis pembangunan dan peradaban seperti kepemimpinan Nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in di masa kejayaan Islam dahulu.

Ketum PBNU yang akrab disapa Gus Yahya itu mengatakan, Nabi Muhammad merupakan gabungan dari fungsi antara waliyul ‘ilmi (penguasa ilmu) dan waliyud dunnya (penguasa dunia), karena Nabi Muhammad memimpin langsung masyarakat dalam mengatur kehidupan sehari-hari.

Selain berkarakter seperti Nabi Muhammad, Gus Yahya mengatakan, kriteria ideal seorang pemimpin itu juga harus mujtahid. Seorang pemimpin harus benar-benar berkapasitas secara ilmu, artinya benar-benar alim, fakih (paham terhadap aturan dan Syariat Islam) dan paham urusan dunia.

“Namun kenapa dalam perjalanan sekarang kesatuan dari waliyul ‘ilmi dan waliyud dunnya itu susah dipertahankan? Jawabannya, karena ahlul ilmi (ahli ilmu) tidak sempat lagi mengurus urusan dunia, mereka sudah habis waktunya buat mengurusi ilmu, buat belajar dan berkhidmat kepada ilmu,” ujar Gus Yahya.

Di sisi lain, menurut Gus Yahya, orang-orang berkuasa tidak sempat lagi mengikuti pengajian, sehingga penanganan atas persoalan dari urusan dunia terkadang tidak mendapatkan jawaban memuaskan dari sisi agama.

“Yang alim-alim tidak sempat membangun kekuasaan karena berkhidmat dengan ilmu, sedangkan yang berkuasa tidak sempat lagi mengikuti pengajian. Ini yang terjadi dan memang sudah terjadi lama sekali. Sementara banyak masalah yang menyangkut kemaslahatan umat membutuhkan pemikiran revolusioner yang betul-betul efektif menjadi jawaban atas segala persoalan yang ada,” ungkap Gus Yahya.

Di sisi lain, Ketua Umum (Ketum) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh, Tgk H Faisal Ali turut mengapresiasi kedatangan tokoh kunci PBNU ke tanah Serambi Mekkah.

Menurut Tgk Faisal, kedatangan Gus Yahya yang didampingi oleh Sekjen PBNU dan Bendahara Umum (Bendum) PBNU serta berbagai unsur rombongan lainnya merupakan sejarah baru yang tercipta di Aceh.

“Sepengetahuan kami dalam sejarah keberadaan NU di Aceh, belum pernah ada tiga tokoh kunci PBNU hadir di Aceh selain dari kegiatan hari ini,” ujar Tgk H Faisal Ali yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.

Ulama yang akrab disapa Lem Faisal itu mengatakan, kegiatan seminar kebangsaan hari ini diadakan untuk menjawab tantangan umat, dimana dalam beberapa waktu ke depan Provinsi Aceh akan dihadapkan dengan Pilkada 2024.

“Sehingga diharapkan dengan adanya seminar kebangsaan ini bisa memberikan pencerahan, pemikiran dan wawasan kepada kita semua untuk bagaimana Aceh melahirkan pemimpin ideal yang cocok untuk memimpin Provinsi Aceh,”  ungkap Lem Faisal.

Minggu Ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

Terkini

spot_img
spot_img

Minggu Ini