Oleh:
Alwy Akbar Al-Khalidi
Dalam bahasan teologi Ahlussunnah wal Jama’ah, pasti kita sudah tidak bisa dan tidak akan bisa melupakan nama besar Kelompok Asy’ariyah dan Maturidiyah, sebab semua itu merupakan representasi dari aqidah yang terkait dengan dunia masa depan. Asy’ariyah adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari, yang kemudian berkembang menjadi salah satu aliran teologi yang penting dalam Islam, yang selanjutnya dikenal dengan aliran al-Asy’ariyah, nama yang dinisbahkan untuk Imam Abu Hasan al -Asy’ari sebagai dasar aliran dasar ini. Imam Abu al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H, dan wafat di Basrah juga pada tahun 324 H. dalam usia 64 tahun.
Lahirnya Aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengah (tawasuth) di antara kelompok-kelompok agama yang berkembang pada masa itu. Yaitu kelompok Jabariyah dan Qadariyah yang dikembangkan oleh Mu’tazilah. Dalam membicarakan tindakan manusia, saling saling berseberangan. Kelompok Jabariyah membahas tentang semua manusia yang memiliki peran apa pun, sedangkan kelompok Qadariyah tentang apa yang dilakukan manusia diciptakan oleh manusia itu sendiri dan terlepas dari Allah. Dengan demikian, bagi aliran Jabariyah kekuasaan Allah sesuai dan bagi Qadariyah kekuasaan Allah memiliki batas.
Sikap Tawasuth yang disahkan oleh Asy’ariyah adalah konsep al-kasb (upaya).Menurut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peran dalam semua perbuatannya. Kasb memiliki makna usaha dan keaktifan manusia yang bertanggung jawab atas perilakunya. Dengan konsep Kasb tersebut, aqidah Asy’ariyah membuat manusia selalu kreatif dalam kehidupannya, akan tetapi tidak menantang Tuhanlah yang menentukan semuanya. Dalam konteks kehidupan sekarang aqidah Asy’ariyah paling mudah diambil landasan memajukan bangsa. Dari pemecahan ekonomi, budaya, kebangsaan hingga pemecahan-pertikaian seperti HAM, kesehatan, gender, otonomi daerah dan sebagainya.
Sikap tasammuh (revisi) yang disetujui oleh Asy’ariyah adalah persetujuan dalam konsep wewenang Tuhan. Bagi Mu’tazilah, Tuhan wajib menerapkan keadilan dalam mengenakan-Nya. Tuhan wajib memasukkan orang baik ke surga dan memasukkan orang jahat ke dalam neraka. Hal ini ditolak oleh Asy’ariyah, alasannya harus dilakukan terhadap Tuhan, padahal Tuhan berkuasa, tidak ada yang bisa menyelamatkan kehendak dan kekuasaan Tuhan. Meskipun dalam Al-Qur’an Allah berjanji akan memasukkan orang yang baik ke dalam surga , dan orang yang jahat dalam neraka. Namun semua keputusan tetap ada pada peraturan Allah, tidak ada hak cipta untuk membatasinya.
Paham Mu’tazilah menentukan posisi akal atas wahyu, sedangkan Asy’ariyah memutuskan paham wahyu atas akal. Sebagai moderasi yang membahas dalam paham Asy’ariyah, wahyu di atas akal, namun akal tetap digunakan dalam pemikiran wahyu. Jika akal tidak mampu menjawab wahyu, maka akal perlu menjawab dan mengambil wahyu. Karena kemampuan berpikir manusia itu terbatas. Oleh karena itu, tidak semua yang ada di dalam wahyu dapat diterjemahkan oleh akal yang telah diterjemahkan dan dipaksakan sesuai dengan pendapat akal.
Asy’ariyah tidak menentang rasionalitas mentah-mentah, rasional menghargai sebagai penerjemah dan penafsiran wahyu dalam persetujuan untuk menentukan langkah-langkah ke dalam pelaksanaan kehidupan manusia, yaitu bagaimana pesan-pesan wahyu dapat diterapkan oleh semua umat manusia. Inilah perwujudan dari pesan Al-Qur’an bahwa agama Islam itu adalah Rahmatan lil ‘Alamin. Namun perlu digaris bawahi, tidak perlu aspek-aspek rasionalitas yang tidak menyimpang dari wahyu, manusia harus memulihkan seluruh rasio kerja di bawah kendali wahyu.
Dengan demikian, Keistimewaan Imam Abu Hasan as-Asy’ari dalam menegakkan pahamnya karena mengutamakan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits dan juga dengan pertimbangan akal dan pikiran, tidak seperti halnya Mu’tazilah yang mendasarkan pikirannya kepada akal dan falsafah yang Diperoleh dari bahasa Yunani dalam pembahasan Ushuluddin dan tidak juga termasuk kaum Mujassimah, termasuk Aliran Wahabi di dalamnya yang menyeret Tuhan dengan menciptakan. Mereka (wahabi) memegang makna lahiriyah dari Al-Qur’an dan Hadits, sehingga sampai mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, berwajah, dan yang paling parah mengatakan Tuhan duduk di atas ‘arsy. Sementara di akhir kalimat mereka mengatakan bahwa tangan, wajah dan duduk Allah berbeda dengan pakaian. Padahal sama saja, mereka (wahabi) sudah tergolong ke dalam paham Mujassimah, karena hakikat tangan, wajah dan duduk itu adalah sifat yang ada di pakaian-Nya. Na’uzubillah.
Alhamdulillah, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dapat menegakkan paham yang kemudian dinamai Paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang kerap disingkat Aswaja dikalangan masyarakat Indonesia. Paham Asy’ariyah ini mengeluarkan yang telah disetujui oleh Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabat beliau. Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyah merupakan benteng aqidah yang di anut umat muslim di seluruh dunia, semoga kita semua berhubungan dengan kelompok yang berpaham tasybih agar kita tidak terjerumus dalam kekufuran. Aamin Yaa Rabbal ‘Alamin.
Wallahul muwaffiq ila Aqwamitthariq
Penulis adalah: Ketua Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Kuta Alam Banda Aceh, Anggota PCNU Banda Aceh, Pengurus TASTAFI Banda Aceh, Anggota DPW BKPRMI Aceh, Mahasiswa Fakultas Syari’ah UIN Ar-Raniry.